Blogroll

Rabu, 06 April 2016

KISAH AMALAN RASULULLAH SAW KETIKA TERJADI AWAN GELAP DAN ANGIN TAUFAN

Aisyah ra menceritakan, bahwa jika terjadi mendung, awan yang gelap, angin taufan ataupun gemuruh petir, dan sebagainya, maka hal itu akan membuat wajah 

Kamis, 31 Maret 2016


PERJALANAN RASULULLAH SAW KE THAIF

Selama Sembilan tahun sejak diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad SAW telah berusaha menyampaikan ajaran islam dan membawa petunjuk untuk memperbaiki keadaan kaumnya di Mekkah Mukarramah, tetapi sedikit sedikit sekali yang mau menerima ajakan beliau, kecuali orang-orang yang sejak awal telah memeluk islam. Selain orang-orang seperti merka, ada juga sebagian lainnya yang secara lahiriah belum memeluk islam, tetapi mereka bersedia untuk membantu usaha dakwah yang dilakukan Rasullulah SAW. Bahkan hampir seluruh orang-orang kafir di Mekkah selalu menghalangi, mencemoohkan dan menyakiti beliau dan para sahabatnya.
Meskipun paman Rasullulah SAW, yaitu Abu Thalib, juga termasuk dalam golongan orang-orang yang belum memeluk islam, tetapi hatinya sangat mencintai Rasullulah SAW, dan suatu kebahagiaan baginya jika ia dapat menolong Nabi SAW.
Pada tahun kesepuluh setelah risalah kenabian, ketika Abu Thalib meninggal dunia, kaum kuffar bertambah gencar dalam mencegah perkembangan islam, dimana saja, kapan saja mereka ada kesempatan, mereka akan mengganggu kaum Muslimin.
Kota Thaif terletak di sebelah tenggara kota Mekah, memiliki udara yang sejuk, tanah yang subur, dan termasuk salah satu kota perdagangan yang maju. Kota Thaif juga merupakan kota yang penting bagi sejarah Islam seperti yang diceritakan dalam firman Allah swt. berikut ini.
  
Artinya: "Dan mereka berkata, "Mengapa Al-quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?"(Q.S. Az-Zuhruf/43: 31)

Pada waktu itu Thaif didiami Bani Tsaqif yang terdiri dari dua suku, yaitu Bani Ahlaf yang menguasai bidang militer, diplomasi, dan penyembahan berhala, serta Bani Malik yang menguasai bidang ekonomi dan pertahanan, suatu kabilah yang sangat banyak jumlahnya. Menurut Beliau SAW, jika penduduk Thaif memeluk islam maka kaum muslimin dapat melepaskan diri dari siksaan dan gangguan orang-orang kafir, dan akan menjadikan kota itu sebagai pusat penyebaran agama islam.
Rasulullah saw. hijrah ke Thaif pada tahun ke-10 setelah kenabian dengan naik unta. Beliau ditemani Zaid bin Haritsah, mantan budak Khadijah yang sudah diangkat sebagai anak. Kota Thaif pada waktu itu dipimpin oleh tiga orang keturunan Tsaqif yang masih ada hubungan keluarga dengan Rasulullah. Ketiga orang tersebut adalah Kinaah yang bergelar Abdu Jaffi, Mas'ud bergelar Abdu Kulal, dan Habib. Ketiganya merupakan anak dari Amr bin Umair bin Auf as Saqafi. Rasulullah SAW berharap mendapat perlindungan dan dukungan dari keluarganya di Thaif, serta berharap mereka mau menerima ajaran Islam.

Harapan tersebut ternyata meleset, pada awalnya mereka menyambut Rasulullah dengan baik, tetapi setelah mereka mengetahui tujuannya untuk menyiarkan Islam dan mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, mereka marah, menghina, dan mengusirnya. Selama 10 hari Rasulullah saw. dan Zaid bin Haritsah tinggal di Thaif dan mendapatkan perlakuan yang buruk. Penduduk Thaif melempari Rasulullah saw. dan Zaid bin Haritsah dengan batu. Rasulullah saw. mengalami luka yang cukup parah, betisnya berlumuran darah. Begitu juga dengan Zaid bin Haritsah yang mengalami luka-luka yang lebih parah, sebab berusaha melindungi Rasulullah saw.

Sikap Rasulullah saw. terhadap Perlakuan Penduduk Thaif

Pada saat penduduk Thaif melempari Rasulullah saw dan Zaid dengan batu, beliau dan Zaid segera keluar dari kota Thaif untuk menghindarinya. Setelah berlari sekitar tiga mil, beliau dan Zaid berteduh di bawah pohon anggur milik Utbah bin Rabiah dan Syaibah bin Rabiah yang memusuhinya. 

Tidak lama kemudian terlihatlah Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah yang baru sampai di situ. Beliau enggan datang menemui mereka, disebabkan permusuhan mereka terhadap Allah dan RasulNya dan penentangan mereka terhadap agama yang diutus Allah kepadanya. Tetapi Utbah dan Syaibah telah menyuruh hamba mereka yang bemama Addas untuk datang kepada beliau membawa sedikit anggur untuknya, dan Addas ini adalah seorang yang beragama kristen dari negeri Niniva (kota lama dari Iraq). Apabila Addas datang membawa sedikit anggur untuk beliau, maka beliau pun memakannya, dan sebelum itu membaca 'Bismillah!' Mendengar itu Addas keheranan, kerana tidak pernah mendengar orang membaca seperti itu sebelumnya.

'Siapa namamu?' tanya Nabi SAW 'Addas!' 'Dari mana engkau?' tanya beliau lagi. 'Dari negeri Niniva!' jawab Addas. 'Oh, dari kota Nabi yang saleh, Yunus bin Matta!' Mendengar jawaban Nabi itu, Addas menjadi lebih heran dari mana orang ini tahu tentang Nabi Yunus bin Matta? Dia tidak sabar lagi hendak tahu, sementara tuannya Utbah dan Syaibah melihat saja kelakuan hambanya yang terlihat begitu mesra dengan Nabi SAW itu. 'Dari mana engkau tahu tentang Yunus bin Matta?!' Addas keheranan. 'Dia seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama kepada kaumnya,' jawab beliau. Beliau lalu menceritakan apa yang diketahuinya tentang Nabi Yunus AS itu, dan sudah menjadi tabiat beliau, beliau tidak pernah memperkecilkan siapa pun yang diutus Allah untuk membawa perutusannya. Mendengar semua keterangan dari Rasulullah SAW Addas semakin kuat mempercayai bahwa orang yang berkata-kata dengannya ini adalah seorang Nabi yang diutus Allah. Lalu dia pun menundukkan kepalanya kepada beliau sambil mencium kedua tapak kaki beliau yang penuh dengan darah itu.

Melihat kelakuan Addas yang terakhir ini, Utbah dan Syaibah semakin heran apa yang dibuat sang hamba itu. Apabila kembali Addas kepada mereka, mereka lalu bertanya: 'Addas! Mari ke mari!' panggil mereka. Addas datang kepada tuannya menunggu jika ada perintah yang akan disuruhnya. 'Apa yang engkau lakukan kepada orang itu tadi?' 'Tidak ada apa-apa!' jawab Addas. 'Kami lihat engkau menundukkan kepalamu kepadanya, lalu engkau menciurn kedua belah kakinya, padahal kami belum pemah melihatmu berbuat seperti itu kepada orang lain?!' Addas mendiamkan diri saja, tidak menjawab. 'Kenapa diam? Coba beritahu kami, kami ingin tahu?' pinta Utbah dan Syaibah. 'Orang itu adalah orang yang baik, dia menceritakan kepadaku tentang seorang Utusan Allah atau Nabi yang diutus kepada kaum kami, 'jawab Addas. 'Siapa namanya Nabi itu?' 'Yunus bin Matta' jawab Addas lagi. 'Lalu?' 'Dia katakan, dia juga Nabi yang diutus!'Addas berkata jujur. 'Dia Nabi?!' Utbah dan Syaibah tertawa terbahak-bahak, sedang Addas mendiamkan diri melihatkan sikap orang yang mengingkari kebenaran Allah. 'Eh, engkau bukankah kristen?' 'Benar,'jawab Addas. 'Tetaplah saja dalam kristenmu itu! Jangan tertipu oleh perkataan orang itu!' Utbah dan Syaibah mengingatkan Addas. 'Dia itu seorang penipu, tahu tidak?!' Addas terus mendiamkan dirinya .

Pada waktu Rasulullah SAW berteduh di kebun milik Saibah dan Utbah, beliau mengadu dan berdo'a kepada Allah swt. dengan kata-kata berikut ini. 

" Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang lemahnya kekuatan diriku dan lemahnya aku di mata manusia. Wahai Zat yang Maha Penyayang diantara para Penyayang, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhanku, kepada siapapun Engkau serahkan diriku selagi Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli dengan hal itu."

PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Pertongan pertama datang saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Qarnuts-Tsa’âlib atau Qarnul-Manazil. Allah Azza wa Jalla mengutus Malaikat Jibril Alaihissallam bersama malaikat penjaga gunung yang siap melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perlakuan buruk penduduk Thaif. Namun tawaran ini diabaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkeinginan melampiaskan kekecewaaan atas penolakan penduduk Thaif. Justru sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan agar dari penduduk Thaif ini terlahir generasi bertauhid yang akan menyebarkan Islam.

Inilah akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teramat agung. Saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu membalas perlakuan buruk dari kaumnya, namun justru memberikan maaf dan mendoakan kebaikan. Demikian ini selaras dengan beberapa sifat beliau yang diceritakan dalam al-Qur’ân, seperti sifat lemah lembut, kasih sayang, dan sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya.
Kemudian pertolongan dan dukungan yang kedua, yaitu saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di lembah Nakhlah, dekat Mekkah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal disana selama beberapa hari. Pada saat itulah Allah Azza wa Jalla mengutus sekelompok jin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarkan al-Qur`ân dan kemudian mengimaninya. Peristiwa itu disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam surat al-Ahqâf (46) ayat 29-31: Allah berfirman yang artinya:

(Qs-46 :29) Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur`ân, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.
(Qs-46 :30) Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur`ân) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.
(Qs-46 :31) Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.
Kedua peristiwa di atas meningkatkan optimisme Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga bangkit berdakwah dengan penuh semangat tanpa peduli dengan berbagai penentangan yang akan dihadapinya.

PERLINDUNGAN AL MUTH’IM BIN ‘ADIY

Setelah kembali ke Mekkah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlindungan dari al-Muth’im bin ‘Adiy, sehingga kaum kafir Quraisy tidak leluasa mengganggunya. Al-Muth’im memiliki dua jasa sangat besar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pertama, ia memiliki peran dalam perusakan kertas perjanjian pemboikotan yang ditempelkan di dinding Ka’bah. Kedua, ia memberikan perlindungan saat kaum Quraisy berusaha mengusir dan mengganggu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Jasa al-Muth’im ini selalu diingat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga seusai mengalahkan kaum kafir Quraisy dalam Perang Badr, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda perihal para tawanan:
Seandainya al-Muth’im bin Adiy masih hidup, lalu dia mengajakku berbicara tentang para korban yang mati ini (maksudnya, meminta Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan mereka, Pen.), maka tentu aku serahkan mereka kepadanya.



PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Prioritas dakwah Rasulullah terhadap tokoh kabilah Tsaqif di Thaif kala itu merupakan bukti pentingnya menyampaikan dakwah kepada para tokoh panutan manusia.
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap sabar menghadapi perlakuan buruk para penentangnya. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan siksa kepada mereka. Namun sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah, dan Allah Azza wa Jalla memperkenankan doa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
3. Perjumpaan jin dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di lembah Nakhlah merupakan bukti, bahwa jin itu ada dan mereka itu juga mukallaf . Di antara jin ada yang beriman, dan ada juga yang kafir.
4. Berimannya sekelompok jin tersebut merupakan hiburan bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah mendapatkan perlakuan buruk dari penduduk Thaif.
5. Dalam kisah rihlah (perjalanan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Thaif dan penderitaan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam alami terdapat pelajaran bagi para da’i. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggung derita, maka begitu juga para da’i. Oleh karena itu, pada da’i wajib mempersiapkan diri, karena dakwah merupakan jalan para nabi dan orang-orang shalih. Juga dikarenakan tuntutan hikmah Allah Azza wa Jalla bahwa din ini tidak akan dimenangkan kecuali dengan amalan dan usaha keras manusia.

Sumber:
As-Sîratun-Nabawiyatu fi Dhau-il Mashâdiril ash Liyyah, karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Skull Belt Buckles